Sunday, December 22, 2013

jurnal kelompok dan jurnal review bio-ethanol




Pembuatan Bioethanol dari Buah Pepaya & Tape Ketan Hitam dengan Fermentasi Bakteri Saccharomyces cereviceae
Adi Prayoga, Anestasya A.S, Henggar Wahyu Siswanti dan Izhar Ibrahim
Jurusan Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Jakarta

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari teknik produksi bioetanol dari Tape Ketan Hitam  dan papaya hingga menghasilkan bioethanol serta memiliki perbandingan khualitas yang dihasilkan . Hasil penelitian telah diketahui berbagai macam kendala dalam proses produksi mulai dari pembuatan,penyimpanan bahan baku, fermentasi. Fermentasi menggunakan ragi Saccharomyces, sp.. Air (substrat) yang dihasilkan dalam proses fermentasi dalam waktu 7 hari cukup sedikit .Pemurnian dilakukan dengan cara destilasi yang dapat mempengaruhi hasil akhir dalam memperoleh bioetanol dari singkong dan pepaya. Destilasi dilakukan dengan alat destilasi sederhana yang dibuat dengan kaleng biscuit dan pipa yang disambung dengan selang semi plastic serta botol waddah desstilat yang didesign khusus dan dibantu dengan penangas.Dengan memahami prinsip volalitas cairan didapatkanlah bio-ethanol, walaupun pada proses destilasi menghasilkan destilat  pada papaya yang lebih sedikit dibandingkan dengan Tape Ketan Hitam


I.     PENDAHULUAN
Penggunaan energi minyak bumi untuk kehidupan manusia setiap tahun selalu mengalami peningkatan. Dengan populasi manusia yang semakin banyak dan konsumsi kebutuhan untuk hidup juga semakin meningkat, berbanding terbalik dengan jumlah energi yang digunakan dalam kesehariannya, mengingat energi minyak bumi memegang peranan yang sangat penting bagi kesejahteraan hidup manusia. Bagaimana tidak, energi minyak bumi setiap harinya digunakan untuk bekerja, memasak, melakukan perjalanan, atau kegiatan rumah tangga lainnya. Data dari Departemen Energi AS dalam International Energy Outlook 2005, memperkirakan konsumsi energi dunia akan meningkat 57% dari tahun 2002 hingga 2025. Sebagai pengguna terbesar adalah negara-negara berkembang. Selama ini, bahan bakar yang digunakan manusia sehari-hari bersumber dari minyak bumi, batu bara, gas, dan energi fosil lainnya yang diketahui jumlahnya sangat terbatas dan suatu saat akan habis jika digunakan terus-menerus, dan dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat memperolehnya kembali. Seiring dengan meningkatnya kualitas ilmu pengetahuan dan kreatifitas yang dimiliki oleh manusia, sekarang sudah banyak ilmuwan yang memanfaatkan limbah atau bahan-bahan lain di luar minyak bumi untuk diolah menjadi bahan bakar. Etanol banyak diproduksi sebagai pengganti bahan bakar alternatif. Bioetanol adalah salah satu bentuk energi terbaharui yang dapat diproduksi dari bahan baku berupa biomassa seperti jagung, singkong, sorghum, kentang, gandum, tebu, bit, dan juga limbah biomassa seperti batang jagung, limbah jerami, dan limbah sayuran lainnya. Bioetanol diproduksi dengan teknologi biokimia, melalui proses fermentasi bahan baku, kemudian etanol yang diproduksi dipisahkan dengan air dengan proses distilasi.
Indonesia sebagai negara agraris berpotensi besar untuk mengolah dan mengembangkan bahan bakar dari bioetanol ini. Etanol yang dihasilkan dari pembuatan bioetanol dapat dicampur dengan bensin untuk bahan bakar atau yang biasa disebut dengan gasohol. Fermentasi menjadi proses penting untuk dapat menghasilkan etanol dari bahan baku yang bersumber dari tanaman atau bahan lainnya. Fermentasi merupakan suatu cara untuk mengubah substrat menjadi produk tertentu yang dikehendaki dengan menggunakan bantuan mikroba.Fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal. Sebagai bahan baku fermentasi untuk menghasilkan etanol dapat menggunakan senyawa organik berupa karbohidratdengan ciri sebagai berikut:
1.              Bahan-bahan berserat (selulosa), yang kemudian dapat dikonversikan terlebih dahulu menjadi gula dengan bantuan asam mineral. Contohnya: batang jagung, ampas tebu, jerami, dll.
2.              Bahan-bahan yang mengandung gula seperti glukosa, sikrosa atau fruktosa yang dapat difermentasikan selama 1-3 hari
3.              Bahan-bahan yang mengandung pati, seperti biji-bijian dan umbi-umbian yang dihidrolisis terlebih dahulu dengan bantuan enzim a-amilase.
Gula adalah bahan yang umum digunakan dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil akhir fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi beberapa komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi seperti asam butirat dan aseton.Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang merupakan gula paling sederhana, melalui fermentasi akan menghasilkan etanol (C2H5OH). Reaksi fermentasi ini dilakukan oleh ragi. Ragi adalah suatu inokulum padat yang mengandung berbagai jenis kapang, khamir, dan bakteri yang berfungsi sebagai starter dalam fermentasi tape. Ragi juga dapat diartikan sebagai zat pembentuk kalor atau panas yang terjadi pada pembuatan tape, karena diolah dari bahan-bahan yang mengandung panas atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan panas pada tubuh makhluk hidup. Dengan adanya ragi, kandungan pati pada bahan dihidrolisis menjadi glukosa. Pada proses hidrolisis ini, rantai polimer pada pati diputus menjadi unit-unit dekstrosa (C6H12O6) dengan bantuan enzim a-amilase. Proses selanjutnya yaitu proses fermentasi untuk mengkonversi glukosa (gula) menjadi etanol dan CO2. Pada proses fermentasi etanol, khamir terutama akan memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat dan asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang kemudian mengalami dehidrogenasi menjadi etanol.
Description: fermentasi alkohol.png
Gambar 1. Reaksi Pembentukan Alkohol dalam Proses Fermentasi
Dalam percobaan ini akan dilakukan proses fermentasi dengan menggunakan bahan baku tape ketan dan buah pepaya. Tape merupakan makanan tradisional Indonesia yang dihasilkan dari proses peragian (fermentasi) bahan pangan berkarbohidrat, seperti singkong dan ketan. Tapai atau tape adalah kudapan yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan pangan berkarbohidrat sebagai substrat oleh ragi. Ragi digunakan sebagai zat pembentuk kalor atau panas yang terjadi pada pembuatan tape, karena diolah dari bahan-bahan yang mengandung panas atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan panas pada tubuh makhluk hidup.
Tape dapat dibuat dari beras ketan, atau dari singkong (ketela pohon). Berbeda dengan makanan-makanan fermentasi lain yang hanya melibatkan satu mikroorganisme yang berperan utama, seperti tempe atau minuman alkohol, pembuatan tape melibatkan banyak mikroorganisme. Mikroorganisme yang terdapat di dalam ragi tape adalah kapang Amylomyces rouxii, Mucor sp, danRhizopus sp.; khamir Saccharomycopsis fibuligera, Saccharomycopsis malanga, Pichia burtonii, Saccharomyces cerevisiae, dan Candida utilis; serta bakteri Pediococcus sp. dan Bacillus sp. Kedua kelompok mikroorganisme tersebut bekerja sama dalam menghasilkan tape. Tapai hasil fermentasi dengan ragi yang didominasi S. cerevisiae umumnya berbentuk semi-cair, lunak, berasa manis keasaman, mengandung alkohol, dan memiliki tekstur lengket. Mikroorganisme dari kelompok kapang akan menghasilkan enzim-enzim amilolitik yang akan memecahkan amilum pada bahan dasar menjadi gula-gula yang lebih sederhana (disakarida dan monosakarida). Proses tersebut sering dinamakan sakarifikasi (saccharification). Kemudian khamir akan merubah sebagian gula-gula sederhana tersebut menjadi alkohol. Inilah yang menyebabkan aroma alkoholis pada tape. Semakin lama tape tersebut dibuat, semakin kuat alkoholnya.
Selain dari makanan yang difermentasikan, bioetanol juga dapat dihasilkan dari buah-buahan segar atau juga limbahnya yang umumnya disebut dengan fruitanol. Buah yang digunakan khususnya adalah buah-buahan yang memiliki kadar gula yang cukup tinggi. Dalam hal ini, digunakan buah pepaya segar yang difermentasi untuk menghasilkan etanol. Pepaya (Carica papaya L.), atau betik adalah tumbuhan yang berasal dari Meksiko bagian selatan dan bagian utara dari Amerika Selatan. Pepaya termasuk kedalam kerajaan plantae, ordo barssicales, famili caricacease, genus carcica, dengan spesies C. Pepaya. Di indonesia kata pepaya berasal dari bahasa belanda ,“ papaja”, yang ada akhirnya mengambil dari bahasa Arawak, “Pepaya”.Buah pepaya yang matang memiliki kadar glukosa yang cukup besar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan bioetanol (Achmad, 2011).  Proses pembuatan bioetanol dari pepaya dibagi menjadi 3 tahap, yaitu fermentasi, destilasi dan penentuan kadar etanol. Tiga tahap ini harus dilakukan secara berturut-turut. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan ragi roti dengan penambahan pupuk untuk makanan bakteri tersebut dengan perbandingan 5 % dari bahan.
Untuk dapat menunjang produksi etanol yang dihasilkan oleh tape dan buah pepaya yang telah difermentasi, dilakukan pemurnian etanol dengan metode destilasi. Prinsip dari metode destilasi sebenarnya adalah untuk memisahkan dan memurnikan molekul dalam senyawa berdasarkan perbedaan titik didihnya. Dalam proses fermentasi, etanol yang dihasilkan tidaklah murni, tetapi masih terdapat campuran air ataupun zat lain dari fermentasi sehingga kadar etanol yang dihasilkan dari proses tersebut masih rendah dan belum dapat digunakan untuk bahan bakar. Untuk dapat memurnikannya dilakukan destilasi. Berdasarkan pada prinsip destilasi, pemisahan etanol dan pengotornya dilakukan dengan cara memanaskan sampel menggunakan labu destilasi yang telah dihubungkan oleh kondensor. Untuk membuat alat destilasi, dapat digunakan dari limbah-limbah rumah tangga yang masih bisa dimanfaatkan seperti kaleng bekas, botol sirup, dan lain-lain. Dalam hal ini alat destilasi dibuat dari botol sirup bekas untuk menampung cairan sampel hasil fermentasi kemudian dihubungkan dengan selang plastik dan selang yang terbuat dari besi lalu direndam dengan air dalam kaleng bekas sebagai kondensor yang dihubungkan dengan botol bekas obat untuk menampung destilat. Etanol akan menguap apada suhu ± 79°C, dan saat mencapai titik didihnya uap etanol akan terpisah dari air. Uap yang dihasilkan dari proses pemanasan dialirkan melalui selang menuju kondensor untuk pendinginan. Pada proses pendinginan ini, uap etanol dalam fase gas diubah menjadi fase cair sehingga dihasilkan etanol yang murni.

II.  ALAT DAN BAHAN
Pada percobaan ini kami menggunakan bahan beras ketan dan buah pepaya yang di fermentasi dengan ragi Saccharomyces cerevisiae, dan menggunakan alat destilasi sederhana sebagai alat untuk mendestilasi hasil fermentasi bioethanol dan fruthanol

III.   METODE PENELITIAN
a)      Pembuatan tape ketan

Beras ketan yang bersih ditimbang sebanyak 350 gr, setelah dicuci bersih direndam selama 12 jam kemudian di kukus sampai matang, di tambahkan ragi secukupnya pada ketan yg sudah dingin. Lalu diletakan ketan yg telah di fermentas pada wadah/dimasukkan kedalam toples dengan tutup yang rapat dan di biarkan selama kurang lebih 2 minggu agar menghasilkan alkohol.

b)     Pembuatan frutanol

Buah pepaya segar sebanyak 2 buah di kupas dan dicuci setelah dicuci bersih lalu pepaya di blender, di panaskan dan kemudian di tambahkan ragi secukupnya untuk pepaya yang sudah di rebus tadi. Lalu pepaya yang sudah di fermentasi dimasukkan dlam toples dan di biarkan selama kurang lebih 2 minggu agar menghasilkan alkohol.
c)      Proses destilasi alkohol dalam smpel          

Diambil 250 mL air fermentasi dan di masukan kedalam botol, destilasi hasil fermentasi pada suhu 80 derajat celcius. Di jaga agar suhu tetap konstan hingga destilat keluar. Setelah selesai melakukan destilasi, hasil destilat di masukkan kedalam gelas ukur untuk mengetahui seberapa banyak destilat yang di dihasilkan. Untuk Uji destilat apakah mengandung alkohol atau tidak dapat di uji dengan membakar tissu yang telah di celupkan dengan hasil destilat.

IV.   HASIL DAN PEMBAHASAN
SUBSTRAT
VOLUME SUBSTRAT
JUMLAH RAGI
VOLUME DESTILAT
KETAN HITAM
1000ml
10gr
5ml
PEPAYA
350ml
15gr
1ml




Tabel 1. Perbandingan hasil substrat fermentasi
Preparasi  bahan
Ketan hitam dikukus kurang lebih 15 menit dalam panci tertutup yang berisi air. Sedangkan untuk preparasi buah papaya, direbus hingga mendidih untuk mematikan bakteri  kemudian diblender dan didiamkan hingga dingin.
Fermentasi
Substrat papaya dan ketan hitam dimasukkan ke dalam suatu wadah dan diberi saccharomyces cereviseae dengan kadar  5% dari volume substrat yang kemudian di tutup rapat agar tidak ada oksigen yang masuk. Pada fermentasi hari ketiga, bau tidak sedap masih sangat menyengat  terutama pada fermentasi buah papaya  dan aroma alkohol masih belum terasa. Hal ini terjadi karena waktu fermentasi  yang belum lama sehingga terbentuknya bioetanol belum maksimal. Saccharomyces Cerevisiae juga belum mengalami pertumbuhan secara optimal karena waktu yang relatif singkat. Pada hari ke 7 bau yang dihasilkan papaya jauh lebih menyengat dibandingkan pada ketan hitam.  Masing-masing substrat  menghasilkan gas CO2 yang terlihat pada permukaan substrat yang bergelombang dan menggembung. Dalam keadaan anaerob, asam piruvat yang dihasilkan oleh proses glikolisis akan diubah menjadi asam asetat dan CO2. Selanjutnya, asam asetat diubah menjadi alkohol. Proses perubahan asam asetat menjadi alkohol tersebut  di ikuti dengan perubahan NADH menjadi NAD=. Dengan terbentuknya NAD= peristiwa glikolisis dapt terjadi lagi. Pada hari ke 14 bau alkohol pada tape ketan hitam sudah sangat menyengat dan air yang dihasilkan dari proses fermentasi cukup bannyak dibandingkan dengan substrat papaya.
Destilasi
Destilasi  pada penelitian ini dilakukan dengan alat destilasi sederhana yang dibuat dari kaleng bekas unutk tempat kondensor dengan pipa besi sebagai tempat pengubahan uap menjadi  cair. Pada destilasi pertama yaitu destilasi hasil fermentasi papaya dihasilkan volume destilat sebanyak 5ml dan pada destilasi kedua yaitu hasil fermentasi tape ketan menghasilkan destilat sebanyak 1 ml. Proses destilasi membutuhkan waktu ±2jam  hingga tetasan pertama destilat menetes. Hasil destilat yang sangat sedikit ini disebabkan karena volume substrat yang sangat sedikit dan tidak ada perlakuan tambahan untuk meningkatkan volume dan kadar etanol seperti melakukan hidrolisis substrat atau menambahkan zat pati agar semakin banyak glukosa yang didegradasi oleh bakteri saccharomyces cereviseae. Volume etanol yang dihasilkan oleh fermentasi tape ketan lebih banyak dari pada fermentasi buah papaya, hal ini diasebabkan karena semakin lama waktu fermentasi maka semakin banyak etanol yang dihasilkan.   Selain itu volume substrat tape ketan lebih banyak dibandingkan volume substrat papaya hal ini juga dapat mempengaruhi volume etanol .

V.     KESIMPULAN
1.       Semakin lama waktu fermentasi maka semakin banyak etanol yang dihasilkan
2.       Volume substrat tape ketan lebih banyak dibandingkan volume substrat papaya


DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Cara Membuat Alat Destilasi Deserhana. http://organikelompok2.blogspot.com/2012/09/cara-membuat-alat-destilasi-sederhana.html diunduh pada 16 Oktober 2013
Fauzi, Achmad F.A. 2011. Pemanfaatan Buah Pepaya (Carica papaya L.) Sebagai Bahan Baku Bioetanol Dengan Proses Fermentasi dan Distilasi. Semarang: Universitas Diponegoro
Isroi. 2010. Membuat Bioetanol Dari Limbah Buah-Buahan. http://isroi.com/2010/06/14/membuat-bioetanol-dari-limbah-buah-buahan/ diunduh pada 17 Oktober 2013
Kasmidjo, R.B. 1999. Pembuatan dan Pemanfaatan Ragi. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Universitas Gajah Mada.
Purwantari, S.E., Ari S., dan Ratna S. 2004. Fermentasi Ganyong (Canna edulis Ker.) Untuk Produksi Etanol Oleh Aspergillus dan Zymomonas mobilis. Jurusan Bioteknologi 1(2):43-47
Sulistyawan, R.D.T. 2002. Mutu Tape 4 Macam Beras Ketan. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya

FOTO ALAT DESTILASI

1380159_729937457021175_213849241_n





Pemurnian Bioethanol dalam Berbagai Hal : Review
Adi Prayoga
(1112096000050)
Jurusan Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN)
prayogaadiprayoga@gmail.com
 

Abstrak
Penggunaan bahan pangan sebagai bahan baku bahan bakar alternative, bioetanol, dapat mengancam ketersediaan pangan jika tidak dilakukan secara bijak dalam pengelolaannya. Untuk menanggulangi hal itu maka dikembangkan proses fermentasi terhadap limbah pangan yang masih mengandung karbohidrat, dalam penelitian ini digunakan tamana-tanaman dan limbah sebagai bahan baku bioetanol. Etanol yang dihasilkan dilakukan dengan pembungkus yang berbeda masih mengandung sedikit etanol, meskipun telah dilakukan destilasi bertingkat tidak mampu meningkatkan kadar etanolnya sehingga diperlukan alternative proses pemurnian lain, yaitu adsorpsi. Adsorben yang digunakan adalah zeolit dan kapur. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan proses adsorpsi kadar etanol dapat ditingkatkan dengan penggunaan pembungkus saat fermentasi,bahan baku,jumlah destilasi dan penngunaaan absorben yang tepat.

Pendahuluan
Seiring kemajuan bidang industri dan transportasi, konsumsi bahan bakar minyak bumi semakin meningkat. Akibatnya, persediaan minyak bumi di dunia makin lama makin menipis. Perkiraan tentang penurunan produk minyak bumi pada masa yang akan datang dan ketergantungan yang besar terhadap sumber energi minyak bumi, mendorong penelitian dan pengembangan sumber energi alternatif dari bahan-bahan alam yang jumlahnya melimpah dan bersifat terbarukan (renewable natural resources). Bioetanol merupakan salah satu sumber energy alternatif yang sangat prospektif untuk dikembangkan di Indonesia sebagai bahan bakar substitutif ataupun aditif bahan bakar fosil yang digunakan selama ini, yaitu bensin, karena terbuat dari bahan baku alam yang dapat diperbarui dan bersifat lebih ramah lingkungan.

Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang banyak terdapat di Indonesia, sehingga sangat potensial untuk diolah dan dikembangkan karena bahan bakunya sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bioetanol antara lain tanaman yang memiliki kadar karbohidrat tinggi, seperti tebu, kelapa, aren, sorgum, ubi kayu, jambu mete (limbah jambu mete), garut, batang pisang, ubi jalar, jagung, bonggol jagung, jerami, dan bagas (ampas tebu). Banyaknya variasi tumbuhan, menyebabkan pihak pengguna akan lebih leluasa memilih jenis yang sesuai dengan kondisi tanah yang ada. Sebagai contoh ubi kayu dapat tumbuh di tanah yang kurang subur, memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit dan dapat diatur waktu panennya, namun kadar patinya hanya 30 persen, lebih rendah dibandingkan dengan jagung (70 persen) dan tebu (55 persen) sehingga bioethanol yang dihasilkan jumlahnya pun lebih sedikit (Anonim, 2008a). Di sektor kehutanan bioethanol dapat diproduksi dari sagu, siwalan dan nipah serta kayu atau limbah kayu. Sementara itu di sector perkebunan, sumber bioetanol yang prospektif adalah nira kelapa. Menurut Prastowo (2007), tanaman kelapa sebagai tanaman penghasil bahan bakar nabati, potensinya lebih baik dibandingkan jenis tanaman perkebunan lainnya, terutama penggunaan minyak murninya sebagai pengganti minyak tanah dengan memanfaatkan kompor bertekanan yang sesuai. Hampir semua bagian dari tanaman kelapa dapat dimanfaatkan untuk bermacam-macam kegunaan antara lain sebagai makanan, minuman, perabotan, hiasan dan bahan bakar. Indonesia dan Filipina adalah dua produsen kelapa terbesar di dunia dengan luas area masing-masing 3,7 juta ha dan 3,1 juta ha (Anonim, 2006b). Dari luas area kelapa di Indonesia tersebut, terlihat bahwa sebenarnya kelapa adalah komoditas yang sangat potensial untuk dikembangkan lebih lanjut, salah satunya nira kelapa yang memiliki potensi yang besar selain digunakan untuk produk pangan seperti gula merah, gula semut, dan lain-lain, tapi juga dapat dikembangkan sebagai salah satu penganekaragaman produk non pangan yaitu penggunaannya sebagai bahan bakar nabati. Menurut para ahli, potensi produksi nira kelapa adalah 360.000 s/d 720.000 liter/tahun/ha (Anonim, 2006b). Karena nira kelapa memiliki sifat sangat cepat terfementasi sehingga kurang menguntungkan untuk diolah menjadi gula merah. Kondisi ini menambah besarnya kesempatan pemanfaatan nira kelapa untuk keperluan lain yaitu sebagai sumber BBN (Bahan Bakar Nabati). Hal ini didukung pula oleh Peraturan Pemerintah No.5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang mencakup dua target utama yaitu elastisitas energi dan bauran energi primer. Bioetanol pengganti bensin dengan jenis penggunaan bahan baku berupa tanaman yang mengandung pati atau gula. Selain itu didukung pula oleh Intruksi Presiden No.1 tahun 2006 tentang penyediaan dan
pemanfaatan bahan baku nabati sebagai bahan bakar lain.

Salah satu persoalan dalam proses pembuatan bioetanol berkaitan dengan pemurniannya, karena terbentuk campuran azeotrop etanol-air yang tidak dapat dipisahkan dengan proses distilasi biasa. Oleh karena itu, metode lain diperlukan untuk memisahkan campuran azeotrop etanol-air. Pada penelitian ini, distilasi azeotrop digunakan untuk mendapatkan bioethanol murni dari campuran azeotropnya. Penggunaan zeolit alam merupakan upaya untuk memanfaatkan bahan lokal sebagai bahan adsorben dengan harga murah dan aman. Zeolit alam yang telah diaktivasi mempunyai kemampuan sebagai adsorben. Proses aktivasi menyebabkan terjadinya perubahan perbandinganSi/Al, luas permukaan meningkat, dan terjadi peningkatan porositas zeolit (Setiadji, 1996). Hal ini akan berdampak pada kinerja zeolit, yaitu kemampuan adsorpsi zeolit akan meningkat sehingga lebih efisien dalam pemurnian bioetanol. Perbandingan Si/Al dapat dimodifikasi menggunakan asam-asam mineral (Barrer, 1978). Tsitsislivili et al. (1992) mendapatkan bahwa perlakuan asam pada clinoptilolit dapat meningkatkan porositas dan kapasitas adsorpsi untuk molekul-molekul yang relatif besar. Polaritas zeolit ber-gantung pada perbadingan SiO2/Al2O3 yang terkandung dalam zeolit. Polaritas menurun dengan meningkatnya perbandingan SiO2/Al2O3

Hasil dan pembahasan
Variasi Wadah Fermentasi Terhadap Kadar Etanol dalam Tapai Ketan Putih

Wadah fermentasi dalam pembuatan tapai berpengaruh terhadap kandungan etanol dalam tapai yang dihasilkan. Pebanding hal dalam percobaan ada 3 macam pembungkus yaitu pembungkus daun pisang, pembungkus plastik dan daun pisang. Hasil yang didapatkan terdapat perbedaan kadar etanol yang cukup signifikan. Hasil penentuan kadar etanol dalam setiap 500 gram beras ketan putih paling tinggi diperoleh pada penggunaan daun pisang hal ini disebabkan karena pembungkus atau wadah dari daun pisang akan memberikan suasana yang lebih cocok bagi mikrobia fermentator untuk berperan aktif dalam proses fermentasi karbohidrat menjadi etanol. Disamping itu dengan pembungkus daun pisang yang relatif tidak begitu rapat dibanding pembungkus plastik dan gelas lebih memungkinkan bagi mikrobia azeto bacter yang merupakan mikrobia aerob untuk berperan maksimal dalam proses pengubahan etanol menjadi asam asetat.

Variasi Wadah Fermentasi Terhadap Kadar Etanol dalam Tapai Ketan Hitam

Ternyata kadar etanol dalam tapai dari beras ketan putih lebih banyak jika dibandingkan dengan kadar etanol dalam tapai dari beras ketan hitam. Hal ini disebabkan karena struktur amilosa dari beras ketan putih lebih mudah dicerna oleh mikrobia fermentator dibanding ketan hitam, sehingga enzim amilase lebih mudah melakukan pemecahan karbohidrat menjadi etanol dan akibatnya dengan waktu fermentasi yang sama, kadar etanol dalam tapai dari beras ketan putih lebih besar dibanding dari ketan hitam.Kandungan etanol dalam hasil fermentasi beras ketan putih dengan pembungkus daun, kaca dan plastic berturut-turut adalah 0,0751 %, 0,0599 % dan 0,0339 % sedangkan kandungan etanol dalam hasil fermentasi ketan hitam dengan pembungkus daun, kaca dan plastic berturut-turut adalah 0,0407 %, 0,0403 % dan 0,0388 %

Pebandingan kadar ethanol nira kelapa dan nira sorgum dan perlakuan 14 kali destilasi
Pada nira kelapa yang di fementasi selama 2 hari. Nira kelapa memiliki kadar gula total sekitar 12-18 persen sedangkan nira sorgum memiliki kadar gula toal 11-16 persen dan nira tebu 9-17 persen (Komarayati dan Gusmailina, 2010). Proses fermentasi nira kelapa bersifat alami karena nira kelapa sudah mengandung khamir liar yang sangat aktif, dan fermentasi nira kelapa melibatkan penggunaan Saccharomyces cereviceae (Rahayu dan Kuswanto, 1988). Kadar alkohol dari nira kelapa setelah fermentasi rata-rata sebesar 6,36%. kadar alkohol rata-rata meningkat dengan semakin seringnya destilasi dilakukan. Peningkatan drastis terjadi pada destilasi pertama sampai destilasi ke enam, yang diikuti dengan peningkatan yang semakin kecil sampai destilasi ke 14. Pada destilasi pertama terjadi peningkatan sebesar 11,47%, dan pada destilasi ke dua terjadi peningkatan sebesar 17,77%. Namun pada destilasi ke tiga sampai ke delapan terjadi peningkatan kadar alkohol yang semakin menurun yaitu masing-masing sebesar 15,83%, 12,30%, 11,30%, 8,88%, 2,50% dan 2,40%. Pada destilasi ke-9 hingga ke 14 peningkatan kadar alkohol sangat kecil bahkan cenderung konstan, yaitu peningkatan kadar alkoholnya tidak lebih besar dari 1,00%. Karena semakin sering destilasi dilakukan semakin sedikit komponen air dalam bahan yang akan didestilasi atau tidak adanya lagi komponen untuk dipisahkan lebih lanjut. Menurut Yuliastuti (2002), jika suatu zat cair yang telah murni didestilasi akan mempunyai kuantitas yang sama dan kesetimbangan akan dicapai.
Hasil selanjutnya rata-rata rendemen bioetanol yang dihasilkan dari destilasi tuak kelapa adalah 4,83%. Rendemen bioetanol yang dihasilkan dari destilasi tuak kelapa pada penelitian ini setara dengan rendemen bioethanol dari sampah organik yaitu sebesar 4,50 – 7,70% (Mahyuda, 2006). Namun, lebih kecil dibandingkan dengan rendemen bioetanol yang dihasilkan dari bahan nabati lainnya seperti dari tongkol jagung yang menghasilkan rendemen sebesar 14,22% (Anonim, 2006a), tetes tebu memiliki rendemen sebesar 25,00%, dan ubi singkong memiliki rendemen sebesar 16,66% kadar etanol ratarata dari bioetanol yang dihasilkan dari 14 kali destilasi adalah sebesar 95,13%. Kadar etanol yang dihasilkan pada penelitian ini, lebih besar dari kadar etanol yang diperoleh dari sampah organik. Kadar etanol sampah organik setelah didestilasi sebanyak 18 kali adalah sebesar 92,95% (Mahyuda, 2006)
Densitas bahan bakar diduga akan sangat berpengaruh terhadap laju konsumsi bahan bakar. Semakin besar densitasnya diprediksi akan semakin meningkatkan konsumsi bahan bakar atau semakin boros. Densitas yang besar akan menghasilkan nilai kalor yang kecil sehingga menyebabkan kualitasnya rendah (Irawan, 2007). Specific gravity bioetanol yang dihasilkan adalah rata-rata sebesar 0,786. Menurut Fembriyono (2003), specific gravity yang lebih tinggi akan menyebabkan bahan bakar sulit menyala, sehingga kualitas dari bahan bakar tersebut rendah. Nilai API Gravity rata-rata sebesar 48,61 dengan nilai kalor rata-rata sebesar 11.221,94 kkal/kg. Nilai kalor dari bioetanol sampah organic berkisar antara 10.000 -11.000 kkal/kg, sedangkan nilai kalor dari bahan bakar cair pada umunya berkisar antara 10.160-11.000 kkal/kg. Nilai kalor yang lebih besar akan menyebabkan lebih mudah terbakar sehingga kualitasnya lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas bioetanol nira kelapa lebih baik dari bioetanol sampah organik, maupun bahan bakar cair pada umumnya.

Pemurnian bioethanol dari kulit nanas dengan performance adsorben zeolit alam dan
batu kapur
Menurut Wijana, dkk (1991) kulit nanas mengandung 81,72 % air; 20,87 % serat kasar; 17,53 % karbohidrat; 4,41 % protein dan 13,65 % gula reduksi. Mengingat kandungan karbohidrat dan gula yang cukup tinggi tersebut maka kulit nanas memungkinkan untuk diman faatkan sebagai bahan baku bioetanol. Bioetanol yang dihasilkan dari kulit nanas hanya sebesar 3,9 %. Pemurnian yang telah dilakukan adalah proses destilasi dengan ulangan sebanyak tiga kali. Kadar etanol hasil fermentasi tidak dapat mencapai level diatas 18 hingga 21 persen, sebab etanol dengan kadar tesebut bersifat toxic terhadap ragi yang memproduksi etanol tersebut sehingga untuk memperoleh etanol dengan kadar yang lebih tinggi perlu dilakukan destilasi

Pada pemurnian bioetanol yang dihasilkan dari kulit nanas kadar etanol akan semakin tinggi jika digunakan zeolite yang sudah diaktivasi. Semakin tinggi zeolit yang ada dalam kolom akan memperbesar kontak antara adsorben dan bioetanol sehingga kadar bioethanol yang dimurnikan juga akan semakin tinggi terjadinya proses adsorpsi. Perlakuan pengecilan ukuran juga memberikan konstribusi besar terhadap hasil pemurnian. Dengan dikecilkannya ukuran zeolit maka luas permukaan partikelnya akan semakin besar, hal ini juga makin memperbesar kemampuan zeolit dalam menyerap air dalam bioetanol. Selain zeolit, penggunaan batu kapur sebagai adsorben juga menunjukkan performa adsorpsi yang lebih baik jika dilakukan perlakuan fisik. Makin kecil ukuran batu kapur makin besar daya adsorpsinya. batu kapur yang telah dihaluskan lebih banyak mengadsorp air dalam bioetanol. Penggunaan adsorben batu kapur memberikan hasil kemurnian yang tidak terlalu besar. Semakin lama waktu kontak, lebih dari 24 jam maka air yang sudah terserap perlahan-lahan akan terlepas kembali, hal ini terjadi karena ikatan kimia yang terjadi tidak terlalu kuat. Waktu kontak, lebih dari 24 jam maka air yang sudah terserap perlahan-lahan akan terlepas kembali, hal ini terjadi karena ikatan kimia yang terjadi. Kemurnian bioetanol dari kulit nanas dengan proses adsorpsi dapat ditingkatkan dari 3,9% menjadi 27,22 %.
Kesimpulan
1.      Bioethanol lebih banyak dihasilkan dari ketan putih dari pada menggunakan ketan hitam
2.      Penggunaan pembukus dari pelepah pisang menghasilkan bioethanol lebih banyak dari pada pembungkus plastic dan kaca
3.      Proses pemurniaan bioethanol dari nira akan lebih tinggi pada destilasi 1-7 dan akan menrun pada 8-14 destilasi
4.      Zeolite alam dapat mengabsopsi air dan menahannya cukup lama pada bioethanol kulit nanas dengan baik dari pada kapur.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Harimbi S, NA Rahman, 2011, Sintesa Ethanol Dari Kulit Nanas Dengan Variasi Massa Ragi dan Waktu Fermentasi, Jurnal Teknik Kimia,Vol. 6. No.1 (2011) UPNV Jatim.
2.      Judoamidjojo, M., Abdul A.D., Endang G.S. 1992. Teknologi Fermentasi.Jakarta: Rajawali Press
3.      Barrer, FRS, R.M. 1978. Zeolites and Clay Minerals as Sorbents and Molecules Academic Press, New York
4.      Setiadji, A. H. B. 1996. Zeolit Material Unggulan Masa Depan. Makalah dalam Lokalakarya Nasional Kimia, Yogyakarta
5.      Elvers, B., 2008, Handbook of Fuels Energy Sources for Transportation, Wiley-VCH VerlagGmbH & Co. KGaA, Germany.
6.      Gomis,V., Ruiz,F., Asensi, J.C., Font, A., 2003, Application of Isooctane to the Dehydration of Ethanol. Design of a Column Sequence To Obtain Absolute Ethanol by Heterogeneous Azeotropic Distillation, Ind. Eng. Chem. Res., 42, 140-144.
7.      Hambali, E., Mujdalipah, S., Tambunan, A.H., Pattiwiri, A.W., Hendroko, R, 2007, TeknologiBioenergi, AgroMedia Pustaka, Jakarta.
8.      Seader, J.D., Henley, E.J., 2006, Separation Process Principles, 2nd ed., John Wiley&Sons Inc., USA.
9.      Widagdo, S., Seader, W.D., 1996, Azeotropic Distilation, AIChE Journal, 42, 1, 96-130.



PERBANDINGAN FAKTOR PEMBANTU PENINGKATAN KADAR ALKOHOL PADA PROSES DESTILASI: REVIEW
Anestasya Amalia Safitri
1112096000053
Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif  Hidayatullah
Tangerang Selatan
 

Abstrak
Energi alternatif di dapat dari bioetanol hasil produksi bioteknologi yang bersumber dari berbagai bahan mentah organik. Bahan dieroleh dari limbah makanan dan buah yang mengandung glukosa seperti air cucian beras, kulit nanas, dan susu kadaluarsa. Pada review ini membahas faktor yang meningkatkan produksi kadar etanol karena  kandungan glukosa dalam substrat air cucian beras, kulit nanas, dan susu kadaluarsa  sangat sedikit .  Zeolit dan batu kapur digunakan sebagai absorben  air pada proses fermentasi kulit nanas, HCl digunakan sebagai hidrolisis asam, dan kulit nanas untuk membantu peningkatan kadar glukosa dalam susu kadaluarsa.
Kata kunci: bioetanol, peningkatan kadar etanol, fermentasi

Abstract
Alternative energy from biotechnological production of bioethanol derived from a variety of raw organic materials. Materials derived from waste food and fruits which contain of glucose in waste rice water, pineapple rinds, and expired milk. This review discuss the factors that increase the production of ethanol because  the glucose content in rice water, pineapple rinds, and expired milk are very bit. The use of zeolite and limestone   as an water adsorbent in an attempt to improve  the purity of bioethanol from pineapple rinds, HCL used as acid hydrolyzed, and pineapple rinds used as additional glucose in expired milk.
Keywords: bioethanol,increase of ethanol production, fermentation



PENDAHULUAN
Sejak beberapa tahun terakhir Indonesia mengalami penurunan produksi minyak nasional yang disebabkan menurunnya secara alamiah cadangan minyak serta pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya penggunaan transportasi dan aktivitas industri yang berakibat pada peningkatan kebutuhan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM)  Untuk mengatasi keadaan tersebut diperlukan adanya bahan bakar alternatif yang dapat diperbaharui serta ramah lingkungan. Salah satu alternatif pengganti bahan bakar minyak adalah bioetanol. Bioetanol merupakan etanol yang berasal dari sumber hayati. Bioetanol bersumber dari gula sederhana, amilum dan selulosa Amilum yang berbentuk polisakarida dapat dihidrolisis menjadi glukosa melalui pemanasan, menggunakan katalis dan pemanfaatan enzim. Glukosa selanjutnya difermentasi menghasilkan etanol. Dalam proses pembuatan bioetanol banyak ditemukan kendala seperti hasil produksi kadar etanol sangat sedikit sehingga tidak memenuhi standar. Dengan menggunakan bahan bantuan seperti zeolit, batu kapur, asam klorida, dan kulit nanas kadar etanol dapat ditingkatkan sehingga hasil produksi dapat digunakan untuk keperluan massal.
Adsorben zeolit dan batu kapur
Kulit nanas yang  memiliki kandungan glukosa sebesar 8% ketika difermentasi dengan bakteri saccharomyces cereviseae menghasilkan kadar etanol hanya 3.9%. karena kadar etanolnya yang sedikit maka diperlukan alternative pemurnian lain, yaitu dengan proses adsorpsi. Adsorben yang digunakan adalah zeolit alam dan batu kapur. Digunakan dua perlakuan pada percobaan, yaitu bioetanol yang ditambahkan dengan adsorben yang diaktivasi dengan cara pengecilan ukuran adsorben dan adsorben yang belum di aktivasi Adsorben ini ditambahkan ke dalam bioetanol hasil destilasi kulit nanas di dalam kolom gas chromatography.  Setelah didiamkan dengan waktu tertentu, penggunaan zeolit pada kondisi sudah diaktivasi  menunjukkan hasil pemurnian yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi tidak diaktivasi. Batu kapur juga menunjukkan hasil yang sama dengan zeolit, namun tingkat kemurnian batu kapur tidak terlalu besar dibandingkan zeolit.
Kadar etanol akan semakin tinggi jika digunakan adsorben yang sudah diaktivasi. Dengan dikecilkannya ukuran zeolit maka luas permukaan partikelnya akan semakin besar, hal ini juga makin memperbesar kemampuan adsorben dalam menyerap air dalam bioetanol.
Hidrolisis Asam klorida
Air cucian beras telah menjadi limbah sehari-sehari, setelah dilakukan penelitian ternyata air cucian beras ini mengandung zat pati yang cukup tinggi sehingga berpotensi untuk diubah menjadi bioetanol.
Air cucian beras yang telah terkumpul diukur pH awalnya dan didapatkan hasil yaitu pH 6.68 yang merupakan pH netral. Berdasarkan pH awal tersebut , maka sebelum proses fermentasi dilakukan proses peningkatanderajat keasaman dengan menurunkan pH menjadi pH 1-2 secara hidrolisis dengan menggunakan HCl 7%.
Berdasarkan gambar diatas, terjadi penurunan nilai pH sampel setelah dihidrolisis. pH yang semula 6.68 turun menjadi 1.13. hal ini disebabkan karena proses pemecahan zat pati menggunakan asam kuat HCl. Penambahan asam akan mempengaruhi pH (Machbatul, 2008). Namun untuk mendapat produk dengan pH yang memenuhi standar maka harus dilakukan penetralan agar menghilangkan sisa asam kuat yang tertinggal. Setelah proses destilasi dilakukan kadar etanol yang terkandung dalam destilat adalah 50%, untuk mendapatkan kadar etanol yang lebih tinggi lagi dilakukan destilasi bertingkat  sebanyak tiga kali sehingga menghasilkan kadar etanol mencapai 77%.
Penambahan kulit nanas
Susu rusak meliputi  susu yang tidak memenuhi standar kualitas sehingga ditolak oleh koperasi, susu kadaluarsa dan susu basi yang sudah tidak bias di konsumsi lagi sehingga puluhan ribu susu dibuang begitu saja sebagai susu rusak sehingga menjadi limbah. Kandungan laktosa dalam susu berkisar 4.8% . untuk mengubahnya menjadi bioetanol, susu kadaluarsa perlu penambahan karbohidrat. Kulit nanas dianggap bahan yang cocok untuk penambahan pada susu kadaluarsa sehingga menjadi substrat yang dapat difermentasi menjadi bioetanol. Susu kadaluarsa dan limbah kulit nanas dicampur dengan perbandingan 1:1 kemudian dilakukan fermentasi. Hasil dari fermentasi menghasilkan kadar alkohol sebesar 4.66%.





Tabel 1. Perbandingan kadar glukosa dan etanol pada substrat susu, kulit nanas, dan air cucian beras
Jenis bahan
Teknik starter/hidrolisis
Volume sampel
Waktu fermentasi
Kadar glukosa
Kadar etanol
Susu kadaluarsa
Kulit nanas
Air cucian beras
Kulit nanas

Zeolit
HCl
500 ml

Unknown
6200ml
48 jam

48 jam
288jam
4.8%

8%
unknown
4,66%

27.22%
42%





KESIMPULAN
Dari hasil analisis varian jurnal tentang bioetanol yang berasal dari air cucian beras, kulit nanas, dan susu kadaluarsa dapat disimpulkan bahwa air cucian beras memiliki potensi tertinggi untuk dikomersialkan. Selain menghasilkan kadar etanol paling tinggi yaitu 77% dengan bantuan hidrolisis asam kuat HCl, bahan baku tidak sulit didapat bahkan berlimpah


DAFTAR PUSTAKA
Admianta,N.Z. dan Fitrianida.2001.Pengaruh  Jumlah Yeast Terhadap Kadar Alkohol Pada Fermentasi Kulit Nanas dengan Menggunakan Fermentor. Teknik Kimia ITN, Malang
Barrer, FRS, R.M. 1978. Zeolites and Clay Minerals as Sorbents and Molecules. Academic Press.New York
Prametha, N.M. dan A.M. Legowo.2013.Pemanfaatan Susu Kadaluarsa Dengan Fortifikasi Kulit Nanas Untuk Produksi Bioetanol.Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan vol.2 No.1. Indonesian Food Technologist Community.
Rahman, Nanik Astuti, dan Harimbi Setyawati. 2012. Peningkatan kadar bioetanol dari kulit nanas menggunakan zeolit alam dan batu kapur.Berkala ilmiah Teknik Kimia vol.1, No.1. Institut Teknologi Malang. Malang














Pengaruh Waktu, Nilai pH dan Suhu Fermentasi Terhadap Kadar Etanol yang Diperoleh Untuk Pembuatan Bioetanol: Review
Henggar Wahyu Siswanti
1112096000038
Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
henggarws@gmail.com
 


Abstrak
Terbatasnya ketersediaan minyak bumi dan bahan tambang lain yang digunakan untuk sumber bahan bakar memberikan dampak pada meningkatnya masalah ekonomi dan sosial masyarakat khususnya masyarakat Indonesia. Indonesia sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman hayatinya memiliki peluang untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya tersebut. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan kreatifitas yang dimiliki oleh masyarakat saat ini, pemanfaatan terhadap bahan hayati untuk dijadikan sebagai sumber bahan bakar semakin berkembang.   Tumbuhan dan limbah-limbah pertanian, peternakan ataupun industri dapat diolah menjadi bahan bakar dengan cara memfermentasikan bahan tersebut menggunakan mikroorganisme untuk menghasilkan alkohol, atau disebut dengan bioetanol. Namun permasalahan yang sering timbul pada pembuatan bioetanol adalah sedikitnya bioetanol yang dihasilkan dan ketidakmurnian alkohol yang didapat mengakibatkan biaya produksi membengkak. Hal ini disebabkan oleh proses fermentasi yang kurang optimal. Pengaruh waktu, nilai pH, dan temperatur fermentasi mempengaruhi alkohol yang dihasilkan. Lamanya fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap alkohol yang didapat, tetapi berpengaruh terhadap nilai pH. Semakin lama proses fermentasi maka nilai pH menjadi rendah, dan ini membantu mikroorganisme yang digunakan untuk dapat tumbuh dan menghasilkan alkohol. Untuk temperatur, fermentasi akan lebih optimal dan lebih cepat jika terjadi pada temperatur yang cukup panas dan hal ini akan membantu pertumbuhan mikroba.
Kata kunci: bioetanol, fermentasi, pH
Abstract
Restrictiveness availability of petroleum and other mineral that are used as fuel sources have an impact at increasing economics and social problems, especially for Indonesian people. Indonesia as the country which rich with biodiversity has the opportunity to develop this potential. In a row with the development of science and creativity possessed by today's society, the utilization of the biological material to be used as a fuel source has rapidly developed. Plants and agricultural wastes , livestock or industry can be processed to become a fuel by fermenting these materials using microorganisms to produce alcohol, and it called as bioethanol. However the problems that came along often at bioethanol making is the result total of product was lower and the impurities of alcohol which accepted caused increasing production cost. It caused by fermentation process that is not optimal. The time, pH value, and temperature will affect the production total of alcohol. The duration of fermentation did not significantly affect to alcohol that obtained, but it will be effect on the pH value. The longer the fermentation process can make the pH value is low, and it will help the microorganism that is used to be able to grow and produce the alcohol. For the temperature, the fermentation will be more optimized and faster if it occurs at a high temperature and it will help the growth of microbes.
Keyword: bioethanol, fermentation, pH



I.     Pendahuluan
Kenaikan harga BBM ditambah dengan kelangkaan bahan bakar yang terjadi pada masa ini memberikan dampak yang berpengaruh terhadap perekonomian dan juga kondisi sosial hidup masyarakat Indonesia. Bahan bakar memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia untuk melakukan segala jenis aktivitas, baik untuk bekerja maupun dalam kegiatan rumah tangga. Selama ini, bahan bakar yang digunakan berasal dari minyak bumi dan juga energi fosil. Seperti telah diketahui, minyak bumi yang tersedia di alam jumlahnya terbatas dan berbanding terbalik dengan kebutuhannya mengingat minyak bumi tidak dapat diperbaharui, dan untuk mendapatkannya kembali diperlukan waktu jutaan tahun lamanya. Bahan bakar yang selama ini digunakan juga memiliki dampak negatif baik dilihat dari aspek lingkungan maupun kesehatan. Bahan bakar yang berasal dari minyak bumi dan batu bara menghasilkan polusi yang berakibat pada pemanasan global, oleh karena itu diperlukan suatu energi terbarukan dan ramah lingkungan sehingga dapat mengatasi permasalahan energi dan pemanasan global.
Dewasa ini, para peneliti di bidang sains mulai menunjukkan kemampuannya dalam mengolah limbah-limbah yang ada untuk dijadikan sebagai bahan bakar alternatif yang biasa disebut dengan bioteknologi. Bioteknologi adalah pemanfaatan mikroorganisme untuk menghasilkan suatu produk yang dapat digunakan oleh manusia. Di beberapa negara di belahan dunia seperti Brazil, Perancis, Jerman, Swedia, Amerika Serikat, India, dan beberapa negara lainnya sudah sejak permulaan abad ke-20 memanfaatkan etanol sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Etanol yang dihasilkan dapat melalui proses fermentasi bahan pangan atau tanaman yang dikenal dengan bioetanol. Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan bioetanol mengingat Indonesia sebagai negara agraris memiliki kekayaan alam yang melimpah yang dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan hidup rakyat.
Pembuatan bioetanol biasanya dilakukan dengan memfermentasikan bahan pangan seperti tape ketan, beras atau dari tanaman dan buah-buahan seperti ubi, jagung, dan sebagainya. Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Proses fermentasi dilakukan dengan menambahkan ragi atau khamir ke dalam bahan agar dihasilkan alkohol. Fermentasi alkohol merupakan suatu reaksi pengubahan glukosa menjadi etanol (etil alkohol) dan karbondioksida. Organisme yang berperan yaitu Saccharomyces cerevisiae (ragi) untuk pembuatan tape, roti atau minuman keras. Proses fermentasi diawali dengan proses hidrolisis, yakni proses konversi pati menjadi glukosa. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan a-glikosidik. Prinsip dari hidrolisis pati pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa (C6H12O6), yang dapat dilakukan dengan menggunakan enzim alfa-amilase ataupun secara kimiawi.
Reaksi
Gula (C6­H12O6) → asam piruvat
Proses selanjutnya yaitu proses fermentasi untuk mengkonversi glukosa (gula) menjadi etanol dan CO2. Fermentasi etanol adalah perubahan 1 mol gula menjadi 2 mol etanol dan 2 mol CO2. Pada proses fermentasi etanol, khamir terutama akan memetabolisme glukosa dan fruktosa membentuk asam piruvat dan asam piruvat yang dihasilkan akan didekarboksilasi menjadi asetaldehida yang kemudian mengalami dehidrogenasi menjadi etanol
Description: Description: fermentasi alkoholv.png
Gambar 1. Reaksi fermentasi alkohol

Waktu, pH, dan suhu mempengaruhi proses fermentasi pada bahan dan juga alkohol sebagai hasil fermentasi yang dihasilkan. Lama fermentasi pada proses produksi bioetanol sangat mempengaruhi kadar bioetanol yang dihasilkan. Semakin lama waktu fermentasi maka semakin tinggi kadar bioetanol yang dihasilkan. Jika bioetanol yang terkandng dalam substrat tinggi maka akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan mikroorganisme yang digunakan untuk fermentasi yakni Saccharomices cerevisiae. Hal ini disebabkan pada kadar alkohol 2,5% pertumbuhan Saccharomices cerevisiae akan terhambat. Hanya Saccharomices cerevisiae strain tertentu saja yang dapat bertahan pada kadar alkohol 2,5 – 5 %. Oleh karena itu, dibutuhkan lama fermentasi yang tepat untuk fermentasi bioetanol agar didapatkan kadar etanol dalam jumlah yang tinggi, nila pH yang rendah, dan produksi gas yang tinggi tetapi tidak mengganggu pertumbuhan Saccharomices cerevisiae. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pengaruh waktu, pH, dan suhu terhadap kadar etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi bahan yang mengacu pada beberapa penelitian yang dilakukan oleh beberapa narasumber.

II.  Pembahasan
Beberapa penelitian mengenai waktu yang optimal untuk memfermentasikan bahan untuk menghasilkan alkohol telah banyak dilakukan, tetapi tidak didapat berapa lama waktu yang pasti untuk dijadikan sebagai acuan dalam fermentasi. Beberapa berpendapat bahwa semakin lama waktu fermentasi, maka kadar bioetanol yang dihasilkan semakin tinggi, dan ini hanya sampai pada titik tertentu, jika fermentasi masih dilanjutkan maka kadar bioetanol menjadi berkurang. Penelitian yang dilakukan oleh N. Azizah et al (2011) yang menggunakan limbah whey keju yang disubstitusi dengan kulit nanas menghasilkan bahwa lamanya waktu fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar alkohol yang dihasilkan. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati proses fermentasi dengan waktu yang bervariasi yaitu 12 jam, 24 jam, 36 jam, 48 jam, dan 60 jam. Pada fermentasi selama 60 jam (2.5 hari) didapatkan kadar bioetanol sebanyak 1,21 – 2,25 %. Sedangkan menurut Kumalasari (2011) yang melakukan fermentasi substrat kulit nanas dengan ragi roti selama 4 hari menghasilkan alkohol sekitar 4,18 – 5,49%. Hal ini juga berbeda dengan percobaan yang dilakukan oleh Al Baari (2011) yang menggunakan susu rusak yang dicampur dengan limbah cair tapioka untuk memproduksi bioetanol dengan variasi waktu yang sama. Berdasarkan hasil percobaan tersebut didapatkan pada fermentasi selama 60 jam didapatkan kadar alkohol sebesar 1,90%. Lama fermentasi merupakan faktor penting dalam produksi bioetanol. Hal ini disebabkan mikroorganisme yang digunakan seperti Saccharomices cerevisiae membutuhkan waktu untuk menghidrolisis gula menjadi alkohol. Jenis mikroorganisme yang digunakan juga memberikan pengaruh terhadap lamanya fermentasi dan kadar alkohol yang dihasilkan.
Nilai pH (keasaman) juga berpengaruh terhadap produksi bioetanol. pH juga berhubungan dengan waktu fermentasi. Semakin lama waktu fermentasi maka nilai pH menjadi rendah. Nilai pH dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba Saccharomices cerevisiae. Saccharomices cerevisiae dapat tumbuh dalam keadaan asam, sedangkan dalam konidisi basa mikroba tersebut tidak dapat tumbuh. Menurut Roukas (1994), Saccharomices cerevisiae dapat tumbuh pada kisaran pH 3,5 – 6,5 dan produksi alkohol oleh mikroba tersebut maksimal pada pH 4,5. Oleh karena itu, substrat yang digunakan sebaiknya dilakukan pengukuran pH awalnya terlebih dahulu untuk memperoleh proses fermentasi yang optimal. Pada perrcobaan Al Baari (2011), dengan menggunakan substrat susu rusak dan limbah cair tapioka, nilai pH yang didapat adalah 3,78 dan menghasilkan kadar etanol sebesar 1,90%. Sedangkan pada percobaan Richana (2011) yang menggunakan substrat singkong menghasilkan nilai pH 5 dan dihasilkan alkohol sebesar 18%. Menurutnya, untuk menghasilkan kadar etanol yang tinggi, nilai pH harus dijaga agar tetap stabil pada pH 5 untuk memberikan kesempatan Saccharomices cerevisiae berkembang dengan cepat sehingga dapat segera memecah karbohidrat. Untuk menjaga agar nilai pH menjadi stabil dapat ditambahkan zat kimia sebagai nutrisi tambahan seperti urea. Standar kualitas mutu untuk bioetanol adalah pada pH 6,5. Dari hasil yang dihasilkan pada proses fermentasi, nilai pH yang didapat masih rendah, sehingga untuk memperbaiki kualitas mutu dapat dilakukan proses destilasi. Dengan metode destilasi yang memisahkan bahan berdasarkan perbedaan titik didih ini, etanol akan dipisahkan dari komponen-komponen lain yang masih memiliki sifat asam dan komponen-komponen lain itu akan hilang, sehingga didapatkan etanol yang baik untuk bahan bakar.
Suhu fermentasi juga mempengaruhi keberhasilan percobaan. Penggunaan Saccharomices cerevisiae sebagai mikroorganisme untuk mengubah pati menjadi alkohol akan maksimal pada suhu ± 30°C. Pada suhu tersebut, Saccharomices cerevisiae akan menghasilkan alkohol dalam jumlah yang cukup banyak. Hal ini dibuktikan dengan percobaan yang dilakukan oleh Rangga (2012) yang memfermentasikan gula dengan menggunakan alat fermentator berupa tangki atau wadah yang dibuat dari fiberglass tertutup dan disimpan pada tempat yang berbeda yaitu diluar ruangan dan didalam ruang tertutup.
Description: Description: fermentator.png
Gambar 2. Tabung Fermentator

Hasil percobaannya didapatkan bahwa pada fermentasi gula didalam fermentator dengan mikroorganisme Saccharomyces cerevisiae yang disimpan pada ruang tertutup dengan suhu rendah membutuhkan waktu 2 minggu untuk menghasilkan kadar alkohol sebanyak 9%, sedangkan pada fermentasi yang dilakukan di luar ruangan dengan energi panas yang diterima hanya membutuhkan waktu 1 minggu untuk menghasilkan kadar etanol sebanyak 9%. Sehingga didapatkan bahwa pada suhu ruang energi panas yang diserap dapat membantu pertumbuhan mikroorganisme, proses fermentasi menjadi lebih cepat dibandingkan dengan suhu yang rendah.
III.   Kesimpulan
Berdasarkan dari beberapa data yang diperoleh dari berbagai narasumber, didapatkan bahwa waktu, nilai pH, dan temperatur fermentasi memilki peranan penting dalam keberhasilan produksi bioetanol. Semakin lama waktu fermentasi, maka kadar alkohol yang didapat semakin banyak, sampai pada batas waktu tertentu, jika terlalu lama maka kadar alkohol yang didapat akan berkurang. Nilai pH juga mempengaruhi, produksi alkohol menjadi optimal jika nilai pH dapat dijaga agar tetap stabil. Temperatur berperan untuk memaksimalkan pertumbuhan mikroba pada proses fermentasi, agar proses fermentasi menjadi lebih cepat dan dihasilkan kadar alkohol yang besar.

DAFTAR PUSTAKA
Azizah, N, A.N. Al Baari, S. Mulyani. 2011. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH, dan Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol Dari Whey Dengan Substitusi Kulit Nanas. Semarang: Universitas Diponegoro
Hasanah, Hafidatul, A. Jannah, A. G. Fasya. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol Tape Singkong (Manihot utilissima Pohl). Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim
Kumalasari, I. J. 2011. Pengaruh Variasi Suhu Inkubasi Terhadap Kadar Etanol Hasil Fermentasi Kulit dan Bonggol Nanas (Ananas sativus). Semarang; Universitas Muhamadiyah
Pribadi, Rangga Agung. 2012. Pengaruh Temperatur Terhadap Proses Fermentasi Pembuatan Bioetanol. Fakultas Teknologi Industri, Universitas Gunadarma
Roukas, T. 1994. Continous Ethanol Production from Carob Pod Extract by Immobilized Saccharomyces cerevisiae in A Packed Bed  Reactor. J Chem Technol Biotechnol
Utama, A.W, A.M Legowo, A.N Al Baari. 2011. Produksi Alkohol, Nilai pH, dan Produksi Gas Pada Bioetaanol Dari Susu Rusak Dengan Campuran Limbah Cair Tapioka. Semarang: Universitas Diponegoro

PEMBUATAN BIOETHANOL DARI BIJI DURIANDENGAN PERBANDINGAN FERMENTASI TANPA RAGI, FERMENTASI DENGAN VARIASI WAKTU, VARIASIMASSA TEPUNG, DAN MASSA RAGI DENGAN MASSA TEPUNG : Review

Izhar Ibrahim(1112096000057)

Prodi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta
Tahun 2013


Abstrak

Sekarang ini, kebutuhan energi dunia semakin meningkat sementara persediaan energi dari bahan bakar fosil yang selama ini digunakan jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, diperlukan sumber energi alternatif yang mampu mengatasi krisis energi tersebut. Salah satu sumber energi alternatif yang sedang dikembangkan belakangan ini adalah bioetanol. Bioetanol dapat diproduksi dengan cara fermentasi glukosa menggunakan ragi. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bioetanol adalah tanaman yang memiliki kadar karbohidrat tinggi, seperti: tebu, nira, sorgum, ubi kayu, garut, ubi jalar, dan sagu, namun semua bahan ini merupakan bahan baku makanan. Diketahui biji durian mengandung karbohidrat antara 43,6 gram – 46,2 gram tiap 100 gram biji yang dapat diubah menjadi glukosa. Telah dilakukan penelitian Pembuatan Bioetanol dari Biji Durian sebagai Sumber Energi Alternatif. Variabel yang diteliti meliputi : waktu fermentasi, massa tepung biji durian yang digunakan, dan perbandingan jumlah ragi merk “ DK” terhadap massa biji durian. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa fermentasi terhenti saat fermentasi telah berlangsung 75 jam (± 3 hari), massa tepung biji durian agar tercapai hasil etanol yang maksimum ialah 125 gram, dan perbandingan Saccharomyces cerevisiae dengan massa tepung biji durian adalah 1:25.


1.     Pendahuluan

Bahan bakar minyak merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan. Bahan bakar yang digunakan selama ini berasal dari minyak mentah yang diambil dari dalam bumi, sedangkan minyak bumi merupakan bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui. Sehingga untuk beberapa tahun ke depan diperkirakan masyarakat akan mengalami kekurangan bahan bakar Seiringberkembangnyateknologi danbertambahnya penduduk, dan kebutuhanenergi yang semakin meningkat.Bahkan pada abad 21 sekarang ini Indonesia diperkirakan akan menjadi net importer bahan bakar fosil (Kartasamita, 1992).
Melihat hal ini, sudah saatnya untuk mengembangkan berbagai energi alternatif yang dapat diperbaharui, sebagai cadangan energiatau paling tidak dapat menghemat penggunaan energi dari bahan bakar fosil tersebut. Diantara energi alternatif yang baru-baru ini dikembangkan adalah bioethanol. Bioethanol mempunyai beberapa kelebihan dibanding dengan bahan bakar minyak bumi. Bioethanol mudah terbakar dan memiliki kalorbakar netto yang besar, yaitu kira-kira 2/3 dari kalor bakar netto bensin. Pada T 25 ºC dan P 1 bar, kalor bakar netto etanol adalah 21,03 MJ/liter sedangkan bensin 30 MJ/liter. Etanol murni juga dapat larut sempurna dalam bensin dalam segala perbandingan dan merupakan komponen
Zat
Per 100 gram biji segar(mentah) tanpa kulitnya
Per 100 gram biji telah dimasak tanpa kulitnya
Kadar air
51.5 gr
51.1 gr
Lemak
0.4 gr
0.2 – 0.23 gr
Protein
2.6 gr
1.5 gr
Karbohidrat total
47.6 gr
48.2 gr
Serat kasar
-
0.7 – 0.71 gr
Nitrogen
-
0.297 gr
Abu
1.9 gr
1.0 gr
Kalsium
17 mg
3.9 – 88.8 mg
Pospor
68 mg
86.65 – 87 mg
Besi
1.0 mg
0.6 – 0.64 mg
Natrium
3 mg
-
Kalium
962 mg
-
Beta karotin
250μg
-
Riboflavin
0.05 mg
0.05 – 0.052 mg
Thiamin
-
0.03 – 0.032 mg
Niacin
0.9 mg
0.89 – 0.9 mg
pencampur beroktan tinggi ( angkaoktan riset 109 dan angka oktan motor 98) [2]. Bioetanol ini dapat dibuat dari zat pati/amilum (C6H10O5)n yang dihidrolisa menjadi glukosa kemudian difermentasi dengan mikroorganisme Saccharomyces cerevisiae pada temperature 27-30 ºC (suhu kamar). Hasil fermentasi ini mengandung etanol ± 18 %. Selanjutnya didestilasi pada 78ºC (titik didih minimum alkohol), sehingga akan dihasilkan etanol dengan kadar ± 95,6%. Untuk memperoleh etanol absolut maka etanol 95,6% ini ditambah CaO untuk mengikat air. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk membuat ethanol dari biji durian ( Durio zibethinus). Biji durian (Durio Sp) mempunyai kadar amilum 43,6 % untuk biji durian segar dan 46,2 % untuk biji yang sudah masak. Ini merupakan angka yang potensial guna pengolahan amilum menjadi etanol. Amilum yang berbentuk polisakarida dapat dihidrolisis menjadi glukosa dalam kadar yang tinggi melalui pemanasan. Glukosa inilah yang selanjutnya difermentasi untuk menghasilkan etanol.

Dengan kadar pati lebih dari 45%, diharapkan biji durian mampu menjadi bahan baku alternative pengganti bioethanol set meningkatkan nilai ekonomi dari biji durian tersebut.Biji durian Merupakan bagian dalam dari daging buah, umumnya sering dianggap tidak bermanfaat merupakan limbah dari buah durian itu sendiri, ataupun sebatas dimanfaatkan untuk dimakan setelah dikukus atau direbus maupun dibakar oleh sebagian kecil masyarakat.Padahal apabila diolah dengan seksama, biji durian memiliki kandungan pati yang cukup tinggi, yaitu sekitar 43.6 gr dalam 100 gr biji durian. Berikut tabel komposisi biji durian yang dikutip dari Michael J Brown, Durio – A Bilbiograpic Review, 1997 hal 157 :



2.     HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Penepungan Biji Durian

Bahan yang digunakan ialah biji durian kering yang sudah ditepungkan bukan biji durian segar sebab durian adalah buah bermusim ( hanya berbuah pada bulan Oktober-Februari). Agar produksi skala makro dan penelitian secara mikro ini tidak terhenti atau dapat berlangsung secara kontinyu sepanjang tahun diperlukan pengawetan. Pengawetantersebut dilakukan melalui proses pengeringan dan penepungan yang diharapkan mampu memberikan stok bahan dalam jangka waktu yang lama dan meningkatkan efisiensi proses fermentasi sebab kandungan air dalam bahan telah berkurang. Dari proses penepungan dihasilkan tepung biji durian kering, seperti ditunjukkan dalam tabel 2. Efisiensi proses dihitung dengan rumus: g5(2)

Tabel 2. Efisiensi pengeringan biji durian
No.
Massa Awal (basah)
Massa Akhir
(kering)
Efisiensi
1.
1000,65 gram
408,019 gram
40,775%
2.
1000,07 gram
531,227 gram
53,119%
Efisiensi proses penepungan rata-rata
46,974%

Selain itu, dengan cara pengawetan seperti ini maka diharapkan semua biji durian akan dapat diolah seluruhnya. Diketahui bahwa biji durian akan busuk (sehingga tidak dapat diolah) atau tumbuh tunasnya dalam waktu hanya beberapa hari saja. Oleh karena itu, pada saat produksi biji durian terlalu besar (musim), biji durin harus diawetkan untuk kemudian diproses.

2.2 Fermentasi Tanpa Ragi

Fermentasi ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah gas yang keluar dari botol proses adalah benar hanya dari fermentasi ataukah ada gas lainnya (misalnya gas hasil pembusukan). Setelah dilakukan pengamatan terhadap tabung penampung gas, tidak terdapat sedikitpun gas dalam tabung (tabung masih penuh dengan air). Jadi dapat dipastikan bahwa gas yang keluar dari botol fermentasi adalah gas hasil fermentasi yang tidak lain adalah gas karbondioksida yang dapat diketahui volumenya. Dengan demikian jumlah etanol hasil proses fermentasi dapat diketahui dari jumlah gas karbondioksida yang keluar dari botol proses.

2.3 Fermentasi Dengan Variasi Waktu Fermentasi

Berdasarkan grafik pada Gambar 2 terlihat bahwa saat waktu fermentasi sama dengan 0-75 jam, etanol hasil fermentasi semakin meningkat. Dan setelah itu, cenderung konstan. Ini menunjukkan bahwa pada waktu fermentasi 75 jam (± 3 hari), proses fermentasi terhenti atau sudah tidak terjadi fermentasi lagi.
g1
            Gambar 2

Gambar 2. Grafik hubungan waktu fermentasi dengan mol etanol hasil reaksi Jumlah mol etanol dihitung dari jumlah mol gas karbondioksida hasil fermentasi berdasarkan stoikiometri. Volume gas CO2(VCO2) dapat diketahui dengan mengukur dimensi tabung penampung gas. Suhu (T) dan tekanan sistem (P) terukur. Dengan menggunakan persamaan gas ideal dapat ditentukan mol gas CO2 yang dihasilkan (nCO2). Dari persamaan reaksi (1) terlihat bahwa mol gas karbondioksida (nCO2) dihasilkan akan sebanding dengan mol etanol (netanol) yang dihasilkan.
PCO2 VCO2= nCO2 R T
(3)
nCO2= PCO2 VCO2
(4)
R T
netanol ~ nCO2 (5)

Dengan demikian dalam proses produksi nantinya dapat disimpulkan bahwa waktu fermentasi cukup 3 hari saja.

2.4 Fermentasi Dengan Variasi Massa Tepung Biji Durian

Berdasarkan grafik pada Gambar 3 terlihat bahwa dari massa 25-125 gram massa tepung biji durian, grafik mengalami kenaikan yang artinya produksi etanol semakin bertambah. Akan tetapi saat massa tepung biji durian dinaikkan menjadi 150 gram produksi etanol langsung menurun secara signifikan bahkan lebih rendah dari mol ethanol yang dihasilkan oleh massa 25 gram tepung biji durian. Ini menunjukkan bahwa massa tepung biji durian optimum untuk massa ragi ± 5 gram, aquadest 1,5 L adalah 125 gram.
g3
Gambar 3. Grafik hubungan massa tepung biji durian dengan mol etanol hasil reaksi
g4
Gambar 4. Grafik mol ethanol terbentuk sebagai fungsi perbandingan massa ragi dan massa tepung biji durian kering

2.5 Fermentasi Dengan Variabel Perbandingan Massa Ragi Dengan Massa Tepung Biji Durian

Dalam penelitian ini digunakan ragi merk “DK”. Dari grafik pada gambar 4 terlihat bahwa hasil ethanol maksimal tercapai saat perbandingan massa ragi dengan massa tepung biji durian kering adalah 0,04 atau satu bagian massa ragi untuk 25 bagian massa tepung biji durian. Ini menunjukkan bahwa produksi ethanol optimum saat perbandingan massa tepung biji durian dengan massa ragi adalah 0,04 (1:25).

3.     KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa fermentasi terhenti saat fermentasi telah berlangsung selama 75 jam (±3 hari), massa tepung biji durian agar tercapai hasil ethanol yang maksimum adalah 125 gram, dan perbandingan massa ragi Saccharomyces cerevisiae merk “DK” dan massa tepung biji durian kering adalah 0,04.

4.     DAFTAR PUSTAKA

1.      PUTRA, SUGITO. 2006. Petunjuk Praktikum  Kimia Organik Pembuatan Alkohol. STTN-BATAN: Yogyakarta
2.      www.g2glive.com, diakses tanggal 16 Oktober 2013, pukul 15.20 WIB
3.      www.indeni.org, diakses tanggal 16 Oktober 2013, pukul 16.30 WIB
4.      Nurfiana, Fifi dkk. 2009. Pembuatan Etanol Dari Biji Durian. . STTN-BATAN: Yogyakarta



0 comments:

Post a Comment